Empat Domain Berpikir dari Sabda PS dan Cania Citta: Lessons Learned

Ava
8 min readMay 13, 2023

--

Benar secara logika belum tentu benar secara fakta. (Cania Citta, 2022)

Tahun 2020 adalah tahun di mana aku memulai perjalanan mencari banyak knowledge and insights to excel my life growth. Aku merasa hidupku butuh sedikit push untuk maju ke depan dan aku rasa aku perlu banyak resources terkait banyak hal untuk bisa menjalani hidup ini dengan jauh lebih baik. One of my core values is growth, so I definitely would spend uncountable resources toward the journey and I’m grateful I’ve been doing it.

Pandemi Covid melumpuhkan hampir semua lini kehidupan, tapi ga di dunia pengetahuan dan internet. Ketika kita ga bisa berbagi ilmu dengan ketemu langsung (offline), platform online justru mulai nongol. Di situlah ternyata banyak sekali podcast, webinar, online courses yang bermunculan. Pilihan semakin banyak, tapi aku justru senang karena aku semakin ditantang untuk rethink atau bahkan merevisi pemikiranku selama ini. Growth has never been easy, but it’s gonna be worth it because when we put our mind into actions for it, we’ll gain the results eventually.

Salah satu podcast yang aku dengerin adalah PodQuest dari Sabda PS dan Cania Citta yang pertama kali aku dengerin di Spotify akhir tahun 2020. Salah satu episode yang membuatku berpikir (keras) adalah Thinking Frameworks. Barusan aku cari episodenya, ternyata udah ga ada ya? Kayaknya mereka merevisinya dan upload versi terbarunya di 2 Desember 2022. Aku kebetulan dengerinnya di Noice. Episode yang ini jelas lebih sistematis dan enak banget didengerin. Penjelasannya jelas, contohnya masuk akal, dan ga ngebosenin sama sekali meskipun durasinya sekitar 70 menitan.

Sabda dan Cania menyusun empat domain berpikir untuk memudahkan bernalar dengan efektif efisien. Penguasaan terhadap empat domain ini juga membantu kita menghindari perdebatan kusir tiada ujung dan mencampur-adukkan ranah.

Empat domain tersebut adalah logical, empirical, ethical, and aesthetic. Empat domain ini punya metodologi dan cara tersendiri untuk meramu dan menanyakan pertanyaan. Kenapa empat domain ini penting? Setelah baca penjelasan di bawah, aku harap kamu dapat bayangan society yang menguasai empat domain ini bakal nyenengin banget buat dijadiin platform sosialisasi dan bertumbuh.

Kita bisa liat gambar di bawah. Keempat domain dikelompokkan ke dalam matriks absolute and relative. Ranah absolute terdiri dari logical dan empirical sedangkan ranah relative terdiri dari ethical dan aesthetic. Aku akan jelasin satu persatu di sini and what’s my take on these domains.

Firstly, ranah logika disebut juga dengan domain absolutely absolute. Artinya, semua premis (atau statement) di ranah ini berdasarkan universal logics system. Aturannya berlaku di manapun dan kapanpun tanpa terkecuali. Nah, karena dia punya aturan tadi, yang kita nilai di sini bukan isinya tapi strukturnya. Jadi, pengambilan kesimpulannya valid atau tidak valid bukan benar atau salah. Kenapa? Karena benar atau salah itu digunakan untuk menilai substansi. Domain logical ini ga peduli isinya gimana, kalo dia sesuai dengan aturan, ya valid. Simple kan?

Contoh buat ngasih penjelasan lebih lanjut kita bisa liat di matematika. Matematika punya rules sama yang berlaku universal. Di manapun kamu berada, matematika punya aturan sama. Tapi, bisa ga kalo kita bikin aturan lalu kita bikin konsensus? Bisa aja, itulah yang terjadi di bahasa. Bahasa juga contoh ranah logical karena dia punya set of rules (dalam hal ini grammar) yang disepakati. Bahasa kan juga alat kita untuk bernalar kan.

Ranah logical adalah ranah objektif, jadi kita ga bisa perdebatkan. Semisal ada perbedaan jawaban, tinggal kita cek aja sesuai dengan rules yang berlaku. Ranah ini tentang pola dan struktur yang tentu disepakati bersama. Siapa dulu yang menemukan simbol angka? Semisal simbol angka bukan seperti yang kita kenal sekarang, apakah ranah logical masih berlaku? Masih dong.

Perlu contoh ga sih? Gini deh:

a. 1+1=2

b. Jika di luar hujan, Tante menggunakan payung.

Secara logika, kita ga bisa membalik output dari premis-premis tadi dan menjadikannya “penyebab”. Coba kita pikirkan:

a. 2=1+1; padahal 2 juga bisa didapat dari 3–1, atau 7–6, atau akar 4, dsb.

b. Tante menggunakan payung, jadi pasti di luar hujan. Belum tentu lho. Bisa jadi karena panas atau mau pamer payung baru.

That’s how logics domain works. Matematika kan tentang pola ya, pola yang telah disepakati bersama. Tentu kita ga bisa bikin pola sendiri dan mengklaim bahwa ini logis… well, maybe it can in some extent, tapi untuk membuat pola tadi diterima oleh khalayak ramai, butuh konsensus.

That’s how math should be taught in school! Matematika itu bukan hafalan. Matematika itu bahasa. Bahasa itu tentang pola. Berapa banyak guru matematika yang mengajarkannya seperti ini? Sama halnya dengan matematika, musik itu berpola. Aku sepakat dengan Mbah Sudjiwo Tedjo yang mengatakan bahwa yang pintar mengaransemen nada menjadi suatu pola yang indah seharusnya mempunyai logika yang baik; meaning, seharusnya matematikanya bagus. Yah, mungkin suatu saat pendidikan di negeri ini bisa lebih kontekstual dan meaningful ya.

Second, ranah empirical, yang juga kita sebut relatively absolute, adalah ranahnya sains di mana bukti atau evidence adalah core business-nya. Ranah ini didasarkan pada asumsi bahwa universe ini objektif dan berlaku ke semua orang. Jadi, kita ga bisa punya pendapat pribadi di sini. Misalnya aja nih, gravitasi itu kan nyata ya mau kita percaya apa ga. Apakah ketika kita bilang ga percaya lalu kita terjun dari gedung lantai 10, gravitasi tiba-tiba menghilang? Kan ga mungkin, kan? Itu namanya objective reality.

Ranah ini berdasarkan realitas yang tentu isinya fakta. Karena kita judge isinya, kita bisa kasih kesimpulan benar atau salah, sesuai dengan realitas. Itulah kenapa disebut relatively absolute karena sesungguhnya realitas itu kan ya cuma itu-itu aja, tapi kemampuan kita mencerapnya yang bisa jadi beda-beda. Oke, realitas emang ada kemungkinan berubah, tapi kan butuh waktu yang puanjang. Itulah kenapa ranah ini butuh willingness buat nerima fakta-fakta baru dan mau ngubah cara pandang kita.

Ada kata-kata dari Cania yang aku suka: “benar secara logika belum tentu benar secara fakta”. Ini menggambarkan banget perbedaan ranah logical dan empirical. Kita bisa dapat gambaran lebih jelas di contoh ini. Misalnya, kamu dapet dua premis nih:

a. Semua yang hidup di air adalah ikan.

b. Paus hidup di air.

Kesimpulan yang tepat untuk dua premis ini apa? Di ranah logical, kesimpulan “paus adalah ikan” bisa diterima karena dia ga peduli dengan substansi. Tapi, kesimpulan itu jadi absurd ketika kita cari kebenarannya secara fakta (ranah empirical) kan? Itulah penguasaan domain logical dan empirical jadi wajib untuk menghindari perdebatan dan meningkatkan kemampuan bernalar kita jadi lebih akurat.

Third, sesungguhnya moral dan etika adalah dua hal yang berbeda, but for the purpose of simplification, kita samakan dulu aja untuk saat ini. Ranah ethical berkutat dengan nilai dan norma, sehingga kesimpulannya adalah baik dan buruk. Beda dengan kesimpulan benar dan salah yang dikotomis, baik dan buruk itu lebih ke spektrum. Itulah kenapa ranah ethical ini spektrumnya luas banget, sehingga kalo terjadi perdebatan, pasti end up debat kusir. Kenapa spektrum? Karena tiap orang bisa punya definisinya masing-masing.

Ranah moral bisa disebut juga dengan absolutely relative. Why? Karena perdebatan filosofis yang mendasarinya tuh bisa panjang banget. Bisa jadi endless sampai ke kesimpulan yang belum nampak hilalnya. Kita diperbolehkan sebebas-bebasnya menjadi hakim untuk moral dan etika kita sendiri. Tapi, ketika kita berhubungan dengan orang lain, kesepakatan tentu harus dibuat. Untuk itulah, setiap kali kita berdebat atau berdiskusi di ranah moral dan etika, pendekatan filsafat kita perlu adaptasi, seperti kita samakan dulu persepsi di awal terkait definisi dan tujuan kita berdebat atau berdiskusi, supaya ga jadi debat kusir. Misalnya, kita mau membahas, agar pendidikan kita jadi maju, apa yang harus kita lakukan? Sebelum membahas strategi, kita harus sepakati dulu definisi pendidikan maju itu seperti apa, sektor mana yang kita sepakati paling perlu improvement, dsb. Ga bisa dong ujug-ujug kita usulkan, kita harus adaptasi pendidikan ala Korea karena skor PISA mereka bagus.

Moral dan etika bakal jadi sumber hukum atau aturan yang mengikat ketika disepakati secara konsensus. Tapi, bisakah aturan agama menjadi aturan yang mengikat? Untuk menjawab ini, kita bisa kaitkan dengan dua ranah yang ada di kiri, ranah logical dan empiral. Misalnya, menjalankan perintah agama akan menjadikan kita orang yang baik dan orang baik pasti masuk surga. Kita bisa cek klaim tersebut di ranah empirical dengan mencari bukti-bukti korelasi antara dua variabel tadi. Tapi, jika ada orang yang tidak menjalankan perintah agama dan dia adalah orang baik, kita ga punya hak untuk men-judge dia bakal masuk neraka dong. Gini lho, this is what I learned, orang cenderung menilai orang lain dengan kacamata moralnya dan menjadikan itu sebagai moral universal di mana semua orang seharusnya punya moral yang sama. Can we just live based on our moral standards applied to only our own life? Soalnya hal ini sering banget kita temukan di society kan?

“Orang Indonesia cenderung kesusahan membedakan benar-salah dan baik-buruk.” (Ryu Hasan, 2023)

Fourth, ranah estetik disebut juga relatively relative. Ranah ini berangkat dari asumsi bahwa tiap manusia itu punya preferensi dan judgments masing-masing. Eventually, banyak preferensi dan judgments tersebut yang berlaku universal. Ranah ini bermanfaat banget as a tool for understanding human.

“Ranah estetik berarti lebih relatif daripada ranah moral dong, soalnya kan dia relatively relative?” Well, justru ranah moral lebih relatif karena ranah estetik masih punya dimensi yang bisa diperdebatkan, sedangkan ranah moral dari julukannya aja udah absolutely relative. Ranah estetik itu biasanya punya indikator yang bisa menyatukan preferensi atau at least menjembatani perbedaan. Dan seringkali perdebatannya tuh ga penting-penting amat tapi menarik. Misalnya, kita pengen bangun sebuah kota yang indah yang kelak dijadikan ibukota negara. Kita perlu mendefinisikan indah itu yang seperti apa. Wajar banget tiap orang punya definisi indahnya masing-masing. That’s why setelah didefinisikan, kita sepakati definisi mana yang mau kita pakai.

Contoh lainnya kayak kita mau memilih pasangan. Ranah estetik bisa jadi perpaduan antara ranah-ranah lain seperti ranah empiris dan moral, karena untuk menjawab pertanyaan tadi, kita perlu melihat kebutuhan dan keinginan kita seperti apa yang kita mau ada dalam diri pasangan kita. Lalu kita bisa bikin indikator atau matriks untuk memudahkan kita dalam pencarian pasangan (hasek!).

Dari sini udah jelas bahwa ranah estetik itu ada tujuannya. Yah, jelas dong supaya hidup kita lebih efektif dan efisien dong. Kalo kita ga bikin indikator how to judge a movie if it’s good or not, kemungkinan besar kita bakal terlibat dalam debat kusir tiada akhir. Bisa aja aku bilang film bagus tuh karena disutradarai oleh orang yang handal bikin box office, tapi orang lain tentu boleh dong bikin standar bahwa film bagus tuh yang ga bikin dia ngantuk? Again, we need indicators to decide something is good or not. Kayak penghargaan film sekelas Oscar deh, tentu ada indikatornya kan? Meskipun akhirnya sang Juara cenderung dipilih secara subjektif, tapi dia muncul setelah melewati serangkaian penilaian yang telah didefinisikan. Artinya, bisa dipertanggungjawabkan. Dan saat ada indikator yang bisa diukur itulah ranah empiris masuk.

Menarik ya ranah estetik? Sabda dan Cania sendiri bikin satu episode tersendiri buat bahas ini. Mungkin di kesempatan lain aku mau bahas soal itu juga.

So, what’s my take on this explanation?

Aku sadar sebelum aku mempelajari tentang empat domain ini, pemikiranku kacaunya minta ampun. Aku sering mencampuradukkan ranah dengan sengaja atau ga. Aku pernah terlibat debat kusir yang ketika aku pikir-pikir lagi, itu ga worth it banget. Aku mengedepankan ego (dan emosi) dalam berargumen yang membuktikan bahwa aku irasional dan sering membiarkan otakku dibajak oleh emosi. Aku dulu menganggap apapun yang aku percayai dan lakukan adalah yang paling baik dan aku memakai kacamata kuda untuk melihat realitas dunia.

So, I thank Sabda and Cania karena udah membuat pemikiran seperti ini accessible buat semua orang yang mau belajar. Setelah memulai untuk memahami dan menginternalisasi empat domain berpikir ini, aku jadi tau dan mengerti hal-hal mana aja yang perlu diberi komentar/argumen dan hal-hal mana aja yang lebih baik ditinggalin aja. Empat domain berpikir ini membuatku menjalani hidup dengan lebih efektif dan efisien and though I can see how irrational people can be, I stop to think, it’s not that worth it to make any comments! Yah, ujung-ujungnya adalah ini jadi tools yang tepat buatku melatih kecerdasan emosionalku.

Well, ketika kamu sampai di akhir tulisan ini, aku harap ada yang bisa kamu petik dari tulisan ini ya.

--

--

Ava
Ava

Written by Ava

ideas, thoughts, insights, inspirations, and sentiments

No responses yet